Minggu, 24 Juni 2012

SEKEDAR RENUNGAN DI BULAN SYAWAL

Membaca pemikiran para ‘ulama dan cendekiawan Muslimin yang sudah dibuka untuk publik dalam edisi: buku, essay, makalah, desertasi akademik, risalah interpretasi (tafsir) dan dakwah verbal serta terbitan majalah dan terbitan website maupun maillist, seolah-olah para pembaca dipersilahkan menengok kembali plot waktu di sekitar aktivitas Sang Rasulullah Muhammad saw menyampaikan Wahyu Qurani kepada Bangsa Arab dan manusia pada umumnya. Di sekitar plot waktu tersebut telah berlangsung suatu pergumulan ideologi, politik, ekonomi sekaligus kekuatan fisik yang realistik yang selama kurun waktu sejarah perkembangan maju masyarakat manusia menghasilkan suasana masyarakat Muslimin global sebagaimana yang kita temui dan alami di saat sekarang.



Sudah barang tentu bagi generasi Muslimin saat ini pola fikir dan miksasi (campuran) perasaan sebagai Muslim sudah sangat jauh berbeda dengan para pendahulu generasi Muslimin pertama. Sitkon budaya masyarakat manusia secara umum telah jauh berubah dan berkembang seiring dengan perkembangan pola fikir dan miksasi perasaan individu manusia biologis dan saling keterkaitan dan interaksi yang sudah berlangsung hampir lima belas abad lamanya. Realitas waktu tenggang 15 abad semenjak Wahyu pertama diturunkan dan keberlangsungan kerasulan Muhammad saw sebagai salvo pertama dalam periode ahir zaman jahiliyah Arabia gerak perkembangan masyarakat manusia menuju suatu budaya modern dewasa ini hingga hiruk-pikuk krisis ekonomi pasar uang Wallstreet dan “political catastrophy” White House yang tak tertolong lagi merupakan saat-saat kaum Muslimin berkesempatan dan perlu melakukan INTROSPEKSI diri atas lembaran kesejarahan, ideologi, politik dan kebudayaan masyarakatnya sendiri dengan mempergunakan kemampuan inferensi dan referensi sejarah perkembangan masyarakat manusia secara umum.



Pemecahan problematika pemahaman ummat terhadap Al-Dinu al-Islam, polah laku politik dan ekonomi serta pembangunan budaya masyarakat Muslim yang menjadi kiprah studi dan analisis teoretik selama ini pada umumnya didasarkan kepada pendekatan kerangka kerja ilmu keagamaan yang tidak diajarkan oleh wahyu Qurani. Justru Wahyu Qurani telah dan akan terus melakukan kritik tegas terhadap rekayasa ilmu keagamaan dalam memahami maksud dan tujuan penciptaan alam semesta dan penciptaan “kholifatan fii al-ardh”. Permasalahan mengenai Yang Maha Pencipta dengan ciptaan-ciptaan-NYA tidak akan dapat difahami melalui ilmu keagamaan sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mulk (67) ayat 1-5. Para sahabat rasulullah Muhammad saw dan para intelektual Muslimin sudah semenjak rasulullah Muhammad saw masih hidup tidak mampu memahami dan menjelaskan ayat-ayat tersebut secara meyakinkan dengan mempergunakan kerangka kerja ilmu-ilmu teologi, kecuali hanya meng”imani”nya secara dogmatik. Keimanan dogamtik sedemikian inilah yang menyebabkan terbukanya jurang diantara “iman” dengan praktek kemasyarakatan setiap pribadi Muslim, sehingga tidak terdapat persesuaian diantara “iman” ke-Islaman pribadi dengan praktek hidupnya dalam keseharian bermasyarakat dan berkeluarga. Pada lazimnya penjelasan-penjelasan teologis sangat cenderung kepada dugaan-dugaan (al-dzhonu) imajinatif,fantasi dan mistik daripada suatu pemahaman yang memiliki dasar-dasar faktual. Penjelasan demikian itu pernah banyak dikemukakan oleh seabreg-abreg pemikir dan pemerhati tafsiran dan pemahaman Al-Dinu al-Islam yang berkaitan dengan nasib umat Muslimin dalam ribuan karya-karya litrerair dan essay serta tulipen (tulisan pendek).



Kemunculan berbagai alur pemikiran interpretatif (tafsir) atas Al-Quranu al-Karim dan Sunnah rasulullah Muhammad saw yang selanjutnya menimbulkan perpecahan organisasi masyarakat di atas dasar kerangka perbandingan teologi, politik dan ideologi di dalam masyarakat Muslim adalah suatu proses alami yang wajar bagi perkembangan masyarakat manusia sebagaimana yang pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya yang difirmankan Allah swt sebagai kisah para rasul dan nabi serta masyarakat berbagai bangsa. Di mana pada setiap peningkatan kwalitas masyarakat manusia, Allah swt selalu mengirmkan utusan dan nabi serta para wali yang ditugaskan menyampaikan wahyu, bimbingan dan peraturan hidup bagi manusia yang mengimani Allah swt. Bahkan realitas sejarah perkembangan masyarakat dan budaya manusia difirmankan Allah swt sebagai wahyu kepada rasulullah Muhammad saw yang dimuat di dalam Al-Quranu al-Karim. Dalam hampir semua usaha memberikan jawaban jitu atas pertanyaan-pertanyaan tersebut secara umum dan masaal para 'ulama Muslimin meletakkan titik pandangnya dan titik tolak pemikirannya pada satu batu granit tua dan keras yang sudah muncul semenjak munculnya jenis Homosapiens: ritualisme teologis. Dalam Wahyu Qurani dikisahkan sebagai peristiwa pembunuhan pertama yang terjadi dalam perselisihan ritual teologis antara bani Adam.



Sebagaimana dijelaskan di dalam firman Allah swt:

"Wa idz akhodza robbuka min baniiii Aadama min dhuhuurihim dzurriyyatahum wa asyhadahum 'alaaaa anfusihim alastu birobbikum Qoolu balaa syahidnaaaa an taquuluu yauma al-qiyaamati innaa kunnaa 'an haadza ghoofiliin - Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap nafs-nafs mereka: 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?' Mereka menjawab: 'Benar (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi'. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamah kamu tidak mengatakan: 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini (ke-Esaan Allah)' " (QS.7:172),

permasalahan realisnya bukan terletak kepada titik tolak pemahaman ritualisme teologis tetapi pada pemahaman ideologis yang tidak mungkin dipisahkan dari realitas pewahyuan wahyu Qurani. Wahyu pertama yang diturunkan sebagai lima buah ayat Surah Al-'Alaq (96) yang pertama (ayat 1-5) merupakan kritik tajam kepada manusia Arab dan masyarakatnya yang secara ideologis menafikan baca-tulis. Dan selanjutnya wahyu yang diturunkan pada permulaan kerasulan dengan tajam mengkritik ideologi materialistik dalam konteks pemujaan kekayaan material, kehormatan politik-ekonomi, kepahlawanan kriminal (tradisi ghozwu), ketidak-pedulian sosial kekeluargaan dan kemasyarakatan dll. Dan wahyu Qurani memberikan solusi dengan pemugaran masyarakat jahiliyah bangsa Arab melalui perangkat pembaharuan ideologis: pembersihan, pensucian, pemurnian, tuhan bangsa Arab yang disebut Allah dari celupan religi, agama, teologi Arab klasik menjadi Allah swt yang saintifik (empirik, rasional, logis, dialektis), realistik, tanpa embel-embel dan atribut imago kemanusiaan.



Dari titik tolak ideologi demikian, manusia tidak dapat tidak akan menerima dan memahami bahwa dirinya berada (eksis) setelah alam semesta berada dan tidak sebelumnya. Oleh karena itu keberadaan (eksistensi) Tuhannya adalah suatu realitas mandiri yang tidak bergantung kepada adanya manusia. Hanya saja dengan kebebasan terbatas yang merupakan salah satu ciri fitroh manusia, maka manusia sering menafikan realitas obyektif dan menggantinya dengan kontemplasi, fantasi dan imajinasi pribadi yang simplistik dari hasil olah logis fikir formal dan olah filtratif “rasa” qolbu yang fluktual tanpa studi yang menyeluruh. Gerak informasi logis formal jaringan kerja neuron pada sel-sel otak dan gerak photonic atom inferensial, refernsial dan filtratif medan “rasa” (sensor) elektro magnetik qolb dari manusia menghasilkan suatu peristiwa holografis yang seolah-olah realistik dan ada dalam ruang-waktu 4 dimensi (simak sebaik-baiknya pengalaman sufiyah Jalaluddin Rumi, Ibn al-‘Arobi, Al-Ghozali, Abdul Qodir Jaelani, Al-Hallaj, Syeh Siti Jenar, Sunan Kudus dll). Dan hal inilah yang lebih diakui oleh para ‘ulama Muslimin dan teolog Muslimin sebagai realitas azali dari pada realitas mandiri yang bebas dari kebergantungannya terhadap manusia sebagai mahluk biologis tertinggi (sempurna - menurut firman Qurani). Pada titik hal-ihwal inilah manusia yang ber”iman” terperosok ke dalam suatu sumur tak berdasar yang berdinding dogma-dogma kontemplatis, fantastis, mistis, transendental dan imajinatik yang kini dikenal secara popular dengan sebutan teologi atau ilmu agama.



Solusi dari semua pertanyaan yang sudah diketengahkan kali ini tidak lain adalah pemindahan dan pengembalian pemahaman ideologis dalam model mindset manusia dari diri pribadi (nafsin) ke mindset realitas obyektif yang mandiri di mana manusia termasuk salah satu bahagian realitas obyektif yang mandiri tersebut – Allah swt - namun sangat sangat lembut, lebih lembut dari debu kosmik. Dengan demikian maka konsekwensinya adalah suatu aksi revolusioner pemindahan pemahaman teologis ke pamahaman sains atas alam semesta, dirinya dan masyarakatnya serta seluruh aspek kehidupannya. Sehingga pendekatan ke arah menemukan kebenaran hakiki, kebenaran mutlak, lebih dimungkinkan secara alamiyah dan praktis serta gampang, sebagaimana dianjurkan oleh firman-firman Quraniyah. Wahyu Qurani menganjurkan agar kita kaum Muslimin dan manusia secara umum berani dan bersedia mempelajari alam semesta seisinya dan mempelajari diri manusia biologis dengan cara memperhatikan gejala-gejala alam yang dapat ditanggap dengan penginderaan dan gejala-gejala yang berlangsung dalam diri biologis pribadi yang dapat ditanggap dengan penginderaan dan “rasa” organis. Dengan tingkat sains dan teknologi ruang angkasa dan informatika saat ini dimungkinkan secara ideologis, politis dan ekonomis kaum Muslimin kembali mengembangkan inisiatif saintifiknya dengan menjadikan firman-firman Allah swt sebagai Pedoman studi hidup dan kehidupannya sendiri. Konsekwensinya adalah meninggalkan angan-angan fantastik, kontemplasi holistik dan imajinasi nihilistik. Untuk perbaikan nasibnya kaum Muslimin harus berani meletakkan kedua telapak kakinya di atas permukaan bumi kehidupannya pribadi dan memecahkan permasalahan hidup pribadinya dengan mempergunakan sinar benderang Petunjuk-petunjuk (hudan) firman Qurani sebagai Pembimbing-nya dan pengalaman praktis sebagai peralatan nyata (instrumentasi wujud) yang dapat dipergunakannya di dalam merealisasi harapan dan doa yang dipanjatkan kehadiran ilahi. Kita harus selalu ingat firman Qurani: "Innalloha la yughoyyiru ma bii kaumin hatta yughoyyiru ma bii anfusihim" yang menjadi petunjuk metodologis dengan teguh memegang kedua tali yang telah diberikan oleh Allah swt dalam wujud model "hablu min Alloh wa hablu min al-Naas” agar hidup pribadi kita selalu memperoleh rohamh, hidayah dan taufiq dari Allah swt.



Dengan pendekatan demikianlah akan terwujud dan nampak jelas kadar (qodar) keimanan, kesalihan, kemuhlisan dan keihsanan seorang Muslim. Hidup dan kehidupan manusia itulah padang masyhar yang luas sejauh mata memandang dimana manusia diuji, dicoba, dipahalai dan ditingkatkan kedudukannya di sisi Allah swt dan di daerah inilah manusia diadili, disiksa dan dimasukkan ke dalam jahannam. Di padang ini pulalah manusia difasilitasi, dianjurkan dan diijinkan berlomba-lomba berbuat baik dan kebaikan demi kemaslahatan bersama, membangun masyarakat manusia yang damai, tenteram, adil, makmur di bawah sinar benderang ideologi tungal Ketuhanan Yang Maha Esa, yang membuahkan sholat yang husuk bagi pribadi-pribadi.



Wa bii Allohi taufiqu wa al-hidayah wassalamu'alaikum wr wb
»»  BACA SELENGKAPNYA......